LOPANNEWS, PANGKALPINANG – Sebuah polemik keuangan yang melibatkan angka fantastis sebesar Rp 2,1 Triliun kini menjadi sorotan di Provinsi Bangka Belitung. Dana yang disebut-sebut sebagai “Dana Mengendap” oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya, telah memicu reaksi cepat dari Pemerintah Provinsi Bangka Belitung.
Melalui Badan Keuangan Daerah (Bakuda), Pemprov Babel secara resmi telah melayangkan surat kepada Bank Indonesia (BI) perwakilan Bangka Belitung, menuntut penjelasan komprehensif atas data yang dinilai janggal tersebut.
Keresahan ini bermula dari pernyataan Menkeu Purbaya yang menyebutkan adanya dana sebesar Rp 2,1 Triliun yang mengendap di BI atas nama Provinsi Bangka Belitung. Namun, klaim ini sontak menimbulkan kebingungan di kalangan pemerintah daerah. Pasalnya, menurut catatan resmi Bakuda, dana sebesar itu tidak pernah tercatat dalam Kas Daerah (Kasda) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Babel.
Kondisi ini menciptakan ketidaksesuaian data yang signifikan antara laporan pemerintah pusat dan catatan keuangan daerah.
Haris, Kepala Bakuda Babel, menegaskan bahwa pihaknya sebagai bendahara umum daerah memiliki tanggung jawab penuh atas pengelolaan keuangan provinsi. “Bakuda telah menyurati BI. Kami sebagai bendahara umum daerah, meminta penjelasan dari BI soal data yang disampaikan ke Pak Menkeu. Karena di dalam kasda kami dan APBD Pemprov tidak tercatat dana tersebut,” ujar Haris saat dikonfirmasi pada hari Kamis, 23 Oktober 2025.
Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi bagi BI Perwakilan Bangka Belitung untuk memberikan klarifikasi yang transparan dan akuntabel.
Lebih lanjut, Haris mendesak BI Perwakilan Babel untuk menjelaskan secara rinci mengenai asal-usul data yang menempatkan Provinsi Bangka Belitung sebagai salah satu daerah dengan simpanan dana mengendap tertinggi di BI per tanggal 15 Oktober 2025.
“Ketidakjelasan ini bukan hanya menjadi pertanyaan bagi pihak eksekutif daerah, tetapi juga telah menimbulkan tanda tanya di kalangan legislatif,” jelasnya.
Menurut Haris, tidak hanya pihak eksekutif, tetapi juga pihak legislatif belum mengetahui adanya dana mengendap seperti yang disampaikan oleh Menkeu. Selain itu, Haris menekankan bahwa masyarakat juga berhak mengetahui informasi ini.
Isu dana mengendap selalu menjadi perhatian publik karena menyangkut efisiensi penggunaan anggaran negara. Dana yang tidak terpakai dan mengendap dalam waktu lama dapat diartikan sebagai potensi pembangunan yang tertunda atau pelayanan publik yang belum optimal.
“Maka untuk mengklarifikasi hal tersebut, kami meminta BI Perwakilan Bangka Belitung menjelaskan itu. Karena APBD itu uang rakyat. Rakyat harus tahu, DPRD saja tidak tahu karena memang tidak ada di APBD,” ungkap Haris, menekankan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Ia juga menambahkan, bahwa APBD sebagai cerminan alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat, haruslah jelas dan dapat dipertanggungjawabkan setiap rupiahnya.
Langkah proaktif yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung ini menunjukkan keseriusan dalam menanggapi isu yang berpotensi menimbulkan keresahan dan spekulasi di masyarakat.
Kejelasan data keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan efektivitas tata kelola pemerintahan.
“Diharapkan, dengan adanya klarifikasi segera dari Bank Indonesia, polemik ini dapat diselesaikan dengan tuntas, memberikan kejelasan kepada semua pihak terkait, dan mencegah terulangnya ketidaksesuaian data semacam ini di masa mendatang,” pungkas Haris. (LN/JMSI/007)






